Aib Anda Saya Tahu!

Satu hal yang harus kita pahami bersama. Bukan hanya bahwa tiada seorangpun di dunia ini yang sempurna, tetapi juga bahwa setiap orang niscaya akan atau pernah berbuat kesalahan dan dosa. Karena mereka yang ma’shum (dijaga dari berbuat dosa) itu hanyalah para Nabi dan Rasul.
Ini bisa dibuktikan dengan menukil keterangan dari Rasulullah saw tentang nasib manusia di Padang Mahsyar kelak. Dalam sebuah hadits, Rasulullah menggambarkan bahwa setiap manusia kelak akan merasa malu dengan seluruh amal buruknya hingga masing-masing tenggelam dalam keringat saking malunya. Ada yang selutut, seperut bahkan sampai mulut sesuai kadar perbuatan buruknya. Hilanglah harga diri dan kepercayaan diri. Hilang sudah ketokohan dan figuritas. Yang tersisa hanya diri yang hina berlumur dosa. (1)
Dari sini kita akan menyadari bahwa salah satu nikmat terbesar yang diberikan Allah swt pada kita di dunia adalah tertutupnya aib diri dari pandangan manusia.
Bayangkan jika Allah membuka seluruh aib kita. Masih beranikah kita menghadapi manusia, menghadapi mad’u-mad’u kita, menghadapi adik-adik kelas kita, menghadapi calon istri kita, calon mertua kita, dan seterusnya. Besar kemungkinan kita semua akan menjawab, “ Tidak!”

Bayangkan jika Allah membuka aib para ustadz, para aktivis dakwah, para penyeru kebenaran, maka sudah tentu manusia akan berhenti mendengar seruan para penghasung dakwah itu karena merasa mereka sama kotornya dengan diri sendiri hingga tak pantas didengar lagi. Akibatnya rusaklah tatanan hidup manusia. Masing-masing berbuat tanpa tuntunan, tanpa kendali, dan makin terseret menuju kebinasaan.
Kesimpulannya, tertutupnya aib adalah sangat urgen bagi keberlangsungan hidup manusia. Ada hadits menarik lain yang berkenaan dengan hal ini. Dalam hadits ini diterangkan bahwa barang siapa menutupi aib saudaranya di dunia maka Allah akan menutup aibnya di akhirat. (2)
Indah bukan?! Allah tahu bahwa manusia sangat egois, bahwa bisa jadi manusia akan berpikir untuk menutupi aib sendiri tapi di saat yang sama membeberkan aib orang lain untuk menunjukkan kemuliaan dan kelebihannya dibanding orang lain. Karenanya Allah membuat penawaran yang sangat elegan, “Jika ingin aibmu tertutupi, tutupilah aib saudaramu.” Kira-kira begitu kalau disingkat. Allah memaksa manusia berempati pada manusia lain dengan menyadari kelemahan diri.
Sayangnya dalam praktek kehidupan sehari-hari kita kadang lupa dengan apa yang baru kita diskusikan di atas. Kecenderungan untuk membuka aib orang lain itu kadang begitu besar.
Contoh kasus, saat melihat seorang ustadz dengan menggebu-gebu menyampaikan materi “Pernikahan Sakinah” seorang hadirin nyeletuk, “ Yee…, lha wong pernikahannya ustadz itu aja berantakan kok, tuh sekarang istrinya dua, istri mudanya selisih 20 tahun lho, sekarang aja udah jarang pulang ke rumah istri tua, anak-anaknya gak keurus, masih mending keluarga saya …bla..bla..bla…” (ni hadirin tiba-tiba jadi pembicara kedua dalam kajian itu).
Contoh lain, saat seorang murabbi kampus menyampaikan urgensi dakwah kepada para binaannya, salah seorang binaan berbisik pada sebelahnya, “ Lha mas itu kan udah tujuh tahun ini ada di kampus, gak lulus-lulus, kebanyakan kegiatan partai tertentu kayaknya, pembimbing skripsinya nyari-nyariin dia mulu tapi dia nggak pernah ngadep, emangnya partai penting, bukannya haram?! Kalo gue sih …bleh..bleh..bleh…” (ilernya kemana-mana karena terus ngomong sambil bisik-bisik).
Atau contoh yang ini, setelah seorang murabbiyah kampus menyampaikan materi “Sabar” beberapa oknum binaannya bergosip, “ Eh, denger-denger si Mbak kemarin proses nikah gagal lagi, kalo kuitung-itung udah tiga kali ini nih, yang terakhir malah sama ikhwan sekelasku, lebih muda tiga tahun, terang aja ditolak, kayaknya si Mbak emang butuh lebih banyak sabar, blup..blup..blup…” (semakin lama ngomong mulutnya makin berbusa).
Ketiga contoh di atas tentu saja fiktif dan telah saya dramatisir sebagaimana biasa, tapi inspirasinya dari kejadian-kejadian nyata yang pernah saya temui, dan bukan tidak mungkin pernah anda alami dalam versi yang lain.
Kira-kira apa sih yang didapat dari menyampaikan aib orang lain seperti contoh-contoh di atas? Walaupun misalnya aib dalam informasi-informasi itu benar, rasa-rasanya tidak mungkin kalo menyebarkannya menjadikan kita kelihatan lebih hebat atau lebih mulia.
Jadi untuk apa membicarakannya? Apakah untuk melindungi para pendengar kajian? Dari apa? Dari kesalahan atau kemaksiatan sang tokoh? Omong kosong. Tidak ada orang yang mendapat dosa dari kesalahan orang lain kecuali orang itu yang nyuruh. Dosa sang tokoh ya tokoh itu sendiri yang nanggung. Apa yang musti dikhwatirkan? Siapa yang perlu dilindungi? Apa relevansinya antara aib si tokoh dengan kebenaran yang nyata-nyata sedang disampaikan si tokoh? Tidak ada.
Sungguh tidak ada alasan apapun yang membenarkan kita membuka aib saudara kita dalam konteks-konteks di atas. Yang ada kita justru memperbesar peluang terbukanya aib kita di akhirat nanti.
Kalau ternyata kesimpulan ini tidak juga menghentikan kita dari membuka aib orang lain, barangkali kita memang sudah siap untuk tenggelam bahkan mungkin berenang dalam keringat sendiri. Naudzubillahi min dzalika…
Foot Note:
(1) Dari al-Miqdad r.a., katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Didekatkanlah matahari pada hari kiamat itu dari para makhluk hingga jarak matahari tadi adalah bagaikan kadar semil saja.”
Sulaim bin ‘Amir yang meriwayatkan Hadis ini dari al-Miqdad berkata: “Demi Allah, saya sendiri tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata mil itu, apakah ertinya itu jarak semil bumi ataukah mil yang ertinya alat untuk mengambil celak – dari tempatnya – guna celak mata.”
Rasulullah s.a.w. bersabda seterusnya: “Maka keadaan manusia-manusia pada hari itu adalah menurut kadar masing-masing amalannya dalam banyak sedikitnya keringat – yang keluar dari badannya.
Di antara mereka ada yang berkeringat sampai di kedua tumitnya dan di antaranya ada yang sampai di kedua lututnya dan di antaranya ada pula yang sampai di tempat pengikat sarungnya yang ada di kedua lambungnya, bahkan di antaranya ada yang dikendalikan oleh keringat itu dengan sebenar-benarnya dikendalikan – yakni seperti kendali kuda yaitu keringat tadi sampai masuk ke mulut dan kedua telinganya.” Ketika menyabdakan ini Rasulullah s.a.w. menunjuk dengan tangannya ke arah mulutnya.”
(Riwayat Muslim)
(2) Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Tiada seseorang hambapun yang menutupi cela seseorang hamba yang lainnya di dunia, melainkan ia akan ditutupi celanya oleh Allah pada hari kiamat.”
(Riwayat Muslim)

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites